Friday, October 14, 2016
RP : Culture Review - Kesucian Bissu, Dalam Budaya Sulawesi Selatan
Ketika mendengar kata Sulawesi Selatan kebanyakan orang akan terfikir tentang kota Makasar dengan segala perkembangannya saat ini, untuk wisata kebanyakan traveler akan terfikir dengan Pantai, pegunungan, Fort rotterdam, dan Tana Toraja.
Provinsi yang beribukota di Makasar dengan luas 46.717 km2 dan populasi sebanyak 8.035 juta jiwa ( sensus 2010 ) memiliki beberapa pulau kecil di semenanjung bagian selatan provinsi ini. Kurang lebih ada sekitar 295 pulau dan 105 diantaranya bahkan belum memiliki nama bahkan bisa jadi belum berpenghuni. Pulau – pulau di Sulawesi Selatan ini menyimpan keindahan yang luar biasa baik pantai maupun daratannya bagaikan surga alami yang tersembunyi.
Selama ini destinasi wisata yang paling Familiar adalah Tana Toraja yang kini menjadi salah satu Kabupaten sejak tahun 2008, memiliki banyak keistimewaan sebagai salah satu tempat konservasi peradaban budaya Proto Melayu Austronesia yang masih terawat hingga kini.
Bergeser ke daerah kabupaten Pangkajene Kepulauan atau Pangkep tepatnya di kecamatan Segeri Mandali di pesisir barat Sulawesi Selatan, Berbanding terbalik dengan nama Tana Toraja yang begitu terkenal diluar Sulawesi, Bissu sebagai salah satu warisan budaya Sulawesi Selatan justru semakin terpendam bahkan sempat tergusur keberadaannya. Dapat dikatakan memang tidak banyak pihak mempublikasikan tentang Bissu yang beberapa orang menganggap adalah suatu komunitas. Dalam budaya kaum Bugis, Bissu dapat dikatakan seperti Pendeta Agama bagi suku Bugis. Seorang Bissu akan dikultuskan karena dianggap sebagai orang yang berbeda dan memiliki kelebihan baik ilmu kebatinan dan juga keterampilan.
Sebelumnya ada pendapat dari Almarhum Fahrudin Ambo Enre (penulis sejarah bugis kuno) bahwa bissu berasal dari kata biksu, sehingga muncul dugaan bahwa agama Budha sempat menjejakkan pengaruhnya di tanah bugis purba. Namun, Pendapat tersebut termentahkan karena tidak ditemukannya jejak jejak agama Hindu n Budha di wilayah sulawesi, sebagaimana yang terjadi di pulau bali. Ada pula pendapat bahwa Bissu berasal dari kata mabessi yg berarti suci, dapat dikatakan bahwa pendapat ini yang lebih mendekati kepada definisi dari Bissu itu sendiri. Bissu menjadi salah satu gender atau jenis kelamin yang diakui di masyarakat Sulawesi Selatan, ada 5 gender yang berlaku disana yaitu ; orowane (pria) , makunrai (wanita) , calabai (pria yang bertingkah laku seperti wanita) , calalai (wanita yang berperilaku seperti pria) , dan Bissu. Dalam hal ini Bissu digambarkan sebagai seorang manusia yang netral secara gender atau jenis kelamin tidak spesifik cenderung kepada salah satu jenis kelamin. Anggapan masyarakat Kebanyakan Bissu berasal dari pria, hal ini terjadi karena tidak banyak yang menyorot tentang Bissu yang berasal dari kaum perempuan, karena sebenarnya sejak jaman kerajaan bugis kuno di Segeri Mandali adik Sariwegading yaitu We Tenri Abeng menjadi Bissu yang kemudian menikah dengan seorang pria dan menjadi ratu di negeri tersebut, hal tersebut konon dikisahkan di kitab Bugis kuno La Galigo.
Menjadi Bissu dapat dikatakan adalah sebuah pilihan hidup karena untuk menjadi Bissu perlu adanya latihan dan pembiasaan sejak masa kanak kanak bahkan sejak lahir, latihan dan ritual tertentu akan dilakukan oleh seorang Bugis yang memutuskan untuk menjadi Bissu. Konon mereka di totok di beberapa bagian tubuh untuk mematikan hasrat seksual mereka, itulah sebabnya Bissu tidak akan memiliki orientasi seksual terhadap gender apapun baik lawan jenis ataupun sesama jenisnya. Bissu tidak menikah seumur hidupnya karena bila itu terjadi maka secara otomatis maka gelar Bissu tersebut akan dihilangkan dari dirinya. Bissu juga tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari kaum LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender). Bissu tidak melakukan kegiatan seksual dengan maksud untuk menjaga fokus dirinya menjadi perantara manusia dan Dewa. Namun ada satu ilmu atau juga mitos yang menyebutkan bahwa konon dapat dilakukan Bissu untuk menjaga hasrat seksualnya yaitu dengan Paneddineng Parinyameng yang merupakan khayalan yang membawa pada kenikmatan, sehingga tetap dapat memuaskan Libido tanpa harus melakukan hubungan seks melainkan dengan proses spiritual, namun pada masa sekarang ini tidak banyak Bissu yang mempelajarinya.
Meski memiliki tugas suci dalam adat istiadat dan budaya suku Bugis namun masih ada anggapan masyarakat bahwa Bissu tidak lain adalah Waria (wanita dalam diri pria) yang disucikan. Hal itu disebabkan kesalahpahaman masyarakat awam memandang sejarah dan peran mereka, Padahal Bissu dan waria tidaklah sama, Secara sosok atau penampilan Bissu tidak dapat disamakan dengan kaum waria dan transgender. Bissu sendiri disebut sebagai bukan penanda gender namun sebagai bagian dari proses perjalanan spiritual karena Bissu bukanlah identitas individu melainkan lebih kepada kelompok atau komunitas.
Mereka terlahir sebagai pria yang memiliki kehalusan budi pekerti dan tutur namun juga tidak sefeminim wanita. Mereka berpakaian tidak menyerupai salah satu gender baik pria maupun wanita karena Bissu memiliki pakaian dengan style khusus yang tidak digunakan oleh gender lainnya di masyarakat bugis dan sulawesi selatan pada umumnya. Adakalanya untuk acara atau ritual tertentu Bissu juga akan mengenakan riasan namun tidak seperti wanita Bissu memiliki pakem riasan tersendiri dalam hal mengaplikasikan bedak khusus mereka yang dibuat dari beras khusus pula, dan membentuk bagian bagian wajah mereka menjadi sesuatu yg magis dan berbeda dari riasan wanita pada umumnya. Konon Bissu hanya diizinkan mengenakan pakaian yang sesuai dengan Kasta gender mereka.
Pada zaman kerajaan Bugis Purba selain menjadi pendeta dan pemimpin ritual adat Bissu , menjaga pusaka pusaka kerajaan, menjadi penghubung antara manusia dan Tuhan, juga menjadi penjaga para putri kerajaan, Bissu juga menjadi orang yang dimintai nasihat atau petuah untuk hal – hal spiritual baik adat istiadat maupun keagamaan. Dan adakalany ketika dimintai nasihat itu maka Bissu akan mengijinkan Jin baik untuk merasuki mereka dan berbicara sebagai utusan yang tidak tampak. Beberapa kekuatan gaib yang dimiliki Bissu selain mampu berkomunikasi dengan para Dewa dan juga bangsa Jin, Bissu juga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit, memiliki ilmu kekebalan tubuh yang salah satunya adalah tidak mempan oleh senjata tajam yang seringkali dipertunjukkan dan disebut adat Ma’giri saat ini adakalanya dipertunjukkan juga pada acara acara besar baik pemerintahan maupun swasta di Sulawesi Selatan dan menjadi sebuah kesenian. Selain itu Bissu juga dapat dipercaya sebagai pawang hujan. Dapat dikatakan juga bahwa Bissu pun memegang peranan sebagai dukun Bugis Kuno karena mereka memahami ilmu ilmu mantera supranatural.
Pendapat lain mengatakan mengapa Bissu dianggap suci adalah karena Bissu dari kaum pria tidak berpayudara dan tidak mengalami masa menstruasi sedangkan bila dari kaum perempuan biasanya adalah perempuan yang telah memasuki masa menopouse. Dalam tradisi suku Bugis mempercayai Bissu sebagai perantara langit dan bumi, serta hanya bissu yang mengerti bahasa langit untuk berkomunikasi dengan dewa sehingga Bissu lah yang kerap kali menjadi pemimpin suatu upacara adat dalam tradisi suku Bugis, bahkan juga dapat didapuk sebagai yang menobatkan seorang raja atau pemimpin negeri pada masa kerajaan Bugis kuno. Seorang pemimpin atau raja yang dilantik oleh Bissu biasanya akan dianggap karismatik oleh masyarakat adat Bugis.
Namun Bissu tak selalu di tinggikan oleh masyarakat, terutama karena perputaran era politik yang terjadi di indonesia. pada masa masuknya agama islam ke tanah Sulawesi di abad 12 Bissu mulai mengalami pertentangan, dan pasca kemerdekaan Indonesia dibawah pimpinan Kahar Muzakkar ( Darul Islam ) para Bissu sempat mengalami masa suram yang mengerikan, sejarah Bugis mencatat bagaimana masa itu Bissu menjadi buruan untuk dibunuh karena dianggap menyimpang, Pusaka-pusaka dan Benda-benda di rumah pusaka di musnahkan karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam. selain itu pada masa masuknya paham komunis Bissu masih mengalami hal yang menyedihkan dari dipaksa menjadi pria tulen dengn dipekerjakan sebagai pekerja kasar, bahkan pihak pihak tertentu menyebarkan isu bahwa melihat Bissu adalah suatu aib dan dosa sehingga banyak bissu yang mendapatkan perlakuan tidak layak dari masyarakat. Meski tidak ada data resminya namun banyak dari mereka yang terbunuh pada masa itu, dan beberapa yang selamat dan mampu bertahan mengungsi hingga ke Pangkep dan Bone, barulah kerajaan di Pangkep pada masa itu dapat menerima kehadiran Bissu. Mengenai keberadaan dan jumlah Bissu sendiri saat ini sudah semakin berkurang, terlebih sejak meninggalnya Bissu Puang (kepala kaum Bissu) Saidi dan Bissu to lolo (wakil kepala kaum bissu). Pada acara adat Mappallili yang diadakan di Pangkep, Bissu yang dapat menghadiri kurang jumlahnya dari 40 orang, padahal idealnya dalam Mappallili dihadiri oleh 40 orang Bissu sebagaimana yang dituangkan di epos Galigo ( kitab Bugis Kuno ), Mappalili sendiri adalah suatu upacara adat Bugis yang dilakukan sebelum masa musim tanam atau sebelum turun ke sawah untuk memulai menggarap sawah masyarakat Bugis.
Bissu pada masa kini seolah menjadi sesuatu yang langka, beberapa hal yang menyebabkannya seperti semakin baiknya ajaran agama samawi di tanah Bugis, dan gaya hidup modern yang juga semakin mempengaruhi pola pikir masyarakat sulawesi, serta beratnya persyaratan untuk menjadi seorang Bissu, menjadi seorang Bissu bukan merupakan rekayasa melainkan melalui proses panggilan spiritual yang sifatnya sangat individu, adakalanya melalui Mimpi yang datang kepada sang calon Bissu, jika ia telah yakin maka datanglah calon Bissu ke rumah Ketua Bissu Senior yang disebut Puang Matowa dan menempa pendidikan dan pelatihan (yang hanya beredar di kalangan Bissu) dirumah sang Matowa hingga kurang lebih 3 – 4 tahun, jika berhasil atau telah dinyatakan siap maka calon Bissu akan ditahbiskan dalam satu upacara penobatan yang disebut Irreba. Tidak seperti calabai yang jumlahnya mengalami pertambahan dan cukup kompetitif dalam perekonomian di tengah masyarakat sulawesi. Bissu justru semakin berkurang keberadaanya masa kini begitu pula dengan peranannya. Meskipun telah ditetapkan oleh pemerintah setempat bahwa Bissu dianggap sebagai pelestari budaya tradisional Bugis namun untuk mengembalikan kejayaan Bissu bukanlah hal yang mudah. Bissu akan tetap menjadi sebuah simbol kenetralan dan kesucian hingga akhir hayatnya tanpa pernah tahu bagaimana eksistensi kaumnya kelak karena Bissu tidaklah diturunkan secara otomatis melalui keturunan, namun masyarakat Sulawesi Selatan dan suku Bugis kuno khususnya tidak akan dapat melupakan peran Bissu meski telah tergusur kemajuan zaman sekalipun.
(Ranie Putri dari berbagai sumber )
Untuk gambar - gambar mengenai Bissu dapat dicek : https://www.google.co.id/search?q=bissu+sulawesi+selatan&espv=2&biw=1366&bih=613&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwizju2pjdrPAhUIR48KHbyaAX0Q_AUIBigB#imgrc=K6ImZytIymHt7M%3A
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Reuni 2 Dekade Alumni Pondok Modern Gontor Putri 2004 di Solo, Jawa Tengah
Pesantren Putri Pondok Modern Darussalam Gontor yang diresmikan sejak 1990, telah meluluskan banyak santriwati yang berkiprah di masyarakat....
-
(pic. Wikimapia) Sebuah gerbang sederhana namun kokoh menyambut saya setelah perjalanan kurang lebih 27 KM dari stasiun Tan...
-
pic source; Depok Online Topeng Cisalak Dari masa ke masa Selama ini kita mengenal topeng adalah hanya tarian, namun sebenarnya se...
-
Setiap wanita tentu ingin menjadi cantik, untuk itu produk perawatan wanita laris manis di pasaran. Tapi perlu diingat bahwa sebaiknya tidak...
No comments:
Post a Comment