|
pic; Pixabay |
“ Hai Teteh (panggilan sopan untuk wanita dalam bahasa sunda) udah disini “ sapa seorang perempuan yang baru turun dari Bis kota sambil menenteng gitar kecil yang disebut ukulele khas pengamen jalanan ibukota, aku menyambutnya dengan senyum lebar lalu menghentikan aktifitas dengan smartphoneku (yaa u knowlah salah satu cara khas masyarakat jaman sekarang ketika menunggu adalah dengan main HP, termasuk aku hehe), aku memperhatikan perempuan itu setengah berlari riang menuju ke arahku, well sebenarnya Bis yang membawanya agak jauh sih dari tempatku menunggu dan sapaan dia tadi hampir seperti teriakan sebenarnya, tapi itu bukan masalah besar buat aku, celana jeans panjang dan kaos belel menutupi tubuhnya yang masih terlihat ramping, ada gurat lelah dan kurang tidur di wajahnya yg sebenarnya jika lebih sering dicuci dan tidak banyak kena polusi pasti bisa semanis Mika Tambayong bintang sinetron tanah air. Tak lama dia sudah berdiri dihadapanku dengan nafas sedikit terengah-engah, ku ulurkan sebotol air minum yang sempat ku isi ulang sebelum keluar kantor
“deuuu segitunya tu napas, nih minum dulu, santai aja gue gak buru – buru kok “ ujarku dan menepuk tempat kosong disebelahku menyuruhnya duduk dan minum
“ beneran? ih nanti kalo kesorean kesian teteh sumpel-sumpelan di kereta “ tanyanya sambil meraih botol minum
“ ummm... sekarang juga kereta udah sumpel sumpelan Di, sama aja kudu nunggu beberapa kereta dulu, daripada bengong sendirian di stasiun, g apa-apa lah gue nongski (red-nongkrong/duduk duduk) di sini dulu sama lo, eh tapi lo mau ngamen lagi g? “ jawabku
“ bisnya masih lama lewatnya teh, lagian Didi juga belom istirahat sih, okelah kita nongski cantik dulu ye disini, yg penting teteh pede aja g malu duduk sama pengamen kucel macem gini “ sahutnya sambil cengar cengir, aku tertawa mendengar ucapannya
“ nyante aje Di, liat gue juga sama pake jins sama kaos oblong doang “ kataku sambil menunjuk yang kukenakan hari itu
“ tapi tetep pake rompi kece “ ujarnya menunjuk rompi stripes yang melekat di kaosku, kamipun tertawa bersama
“ nih udah gue bawain buat baby lo “ kataku sambil menyodorkan sebuah bungkusan plastik besar
“ wihhh apa aja nih Teh “ seketika matanya berbinar meraih bungkusan tersebut
“ liat aja dulu, kalo ada yg kurang trus gue ada ntar nyusul gue bawain “ sahutku, lalu diapun sibuk memeriksa isi bungkusan tersebut, sambil sesekali bergumam
Diana, biasa dipanggil Didi, gadis 17 tahun, oh wait dia bilang dia sudah bukan gadis karena akan segera memiliki anak hahaha. Ya perempuan yang masih sangat muda itu memang tengah mengandung calon manusia di rahimnya, dan sudah memasuki trisemester akhir, meskipun badannya masih ramping. Didi masih tetap mengamen karena dia ingin menabung untuk persalinannya nanti, naik turun bis kota, kala itu aku masih bekerja di salah satu perusahaan yang berlokasi di pancoran dan aku seringkali pulang dan berangkat menggunakan bis kota setelah menggunakan kereta, aku sering melihatnya bahkan ketika kemudian kulihat bahwa perut perempuan itu juga kian membesar dari hari ke hari, dan adakalanya membuatku khawatir ketika dia berdiri di bagian depan bis untuk mengamen. Hingga suatu hari saat aku sedang duduk di tepian jalan tempat menunggu bis dia menyapaku yang setengah melamun sambil memandangi patung pancoran dan bertanya – tanya sudah berapa lama kira-kira patung itu berdiri disana (haha ya aku tahu itu sangat kurang kerjaan )
“ teteh nunggu bis 41 apa 45 ? “ tanya sebuah suara membuatku sedikit tersentak
“ apa aja yang lewat “ jawabku asal sambil memandang sumber suara tersebut, dan ternyata perempuan pengamen yang sering kulihat di bis
“ wah masih lama teh kayaknya soalnya barusan bis mayasari yang rambutan baru aja lewat, tuh masih disitu kalo teteh mau susul “ ujarnya sambil menunjuk sebuah bis hijau yang terjebak macet di depan apartemen soho pancoran ( yang masih dalam tahap pembangunan kala itu )
“ ogah ah, biarin aja ntar nunggu 41 atau 45 aja “ jawabku sambil kembali memandangi patung pancoran, kulihat dia duduk tidak jauh dari tempatku sambil mengelus elus perutnya, entah kenapa hatiku tergelitik untuk bertanya tentangnya dan percakapan diantara kamipun terjadi, Didi terlahir dari keluarga miskin ayah ibunya bekerja sebagai pemulung, kadang ibunya berjualan di pasar, ia memiliki dua orang adik, mulanya Didi masih bisa bersekolah hingga kelas 1 SMA hingga suatu hari ayahnya jatuh sakit dan Didi tidak dapat melanjutkan sekolah lagi, dan ketika keluarga mereka sedang sangat butuh uang untuk pengobatan sang ayah datang seorang pria dengan sejumlah uang dan janji memberikan pekerjaan untuk Didi sebagai buruh pabrik, namun ternyata bukan pekerjaan di pabrik yang diterima Didi melainkan di sebuah tempat hiburan, Didi menolak dan minta dipulangkan namun ia justru di lecehkan secara seksual hingga akhirnya ia berhasil kabur dari messnya , lalu mencoba mengamen untuk menghidupi dirinya, tanpa sadar ternyata ia mengandung anak, ibunya menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya karena tidak tahu bagaimana harus menuntut si pelaku untuk bertanggung jawab, namun Didi takut untuk menjalani proses aborsi manual / non medis yang menurutnya sangat sakit, dia bilang pernah coba diurut dan rasanya sakit sekali, namun kemudian janin itu masih tetap ada, hingga kemudian Didi memutuskn untuk tetap membiarkan janin itu meski keluarganya tidak menerimanya dan ia juga menghadapi celaan sosial dari masyarakat, namun dia bersyukur karena masih banyak juga teman teman pengamennya yang mau menerimanya dan membantunya beberapa sering menemani untuk menjaganya ketika di bis.
Aku sudah sering membaca kisah pilu perempuan korban sexual abuse di artikel majalah atau koran atau digital media tapi entah kenapa rasanya sangat menyakitkan ketika mendengarnya langsung, Didi memang tidak menceritakannya langsung dengn lancar, aku memancingnya dengan banyak pertanyaan hingga akhirnya keluarlah kisah hidupnya tersebut, dan setelah bercerita kulihat seperti ada kelegaan di wajahnya, nampaknya dia memang jarang bercerita tentang hidupnya pada orang lain.
“ kalo tau bakal di tipu juga Didi g bakalan mau ikut orang itu Teh “ ujarnya dengan nada menyesal
“ sama Di gue juga kalo tahu bakal dikhianatin, gue ga akan mau menemui dia hari itu “ sahutku tiba – tiba dan membuat dia terkejut,
“ maksud teteh ? “ tanyanya, aku hanya tersenyum
“ haha enggak, oia kalo g salah gue masih simpen beberapa barang anak gue waktu bayi dan masih banyak yg bagus, kalo lo mau gue bisa bawain beberapa lusa “ aku mengalihkan pembicaraan, entahlah bicara tentang kisah hidup kadang memang menyesakkan dada, jadi perlu pengalihan ke hal yang menyenangkan dengan segera. Benar saja raut wajah Didi berubah seketika menjadi lebih gembira
“ wah beneran teh, kalo g repotin boleh teh, makasih y teh “
Lalu kami sepakat untuk bertemu kembali di tempat yang sama lusa, dan di pertemuan kedua tersebut sesuai janji aku membawakannya beberapa perlengkapan new born baby,
Kami bercakap – cakap tentang bagaimana melewati hari itu, Didi bercerita bahwa hari ini perutnya terasa semakin berat sehingga beberapa kali dia meminta bantuan kawannya untuk menemani mengamen. Dia bertekad untuk melakukan persalinan di bidan bukan di paraji ( semacam dukun beranak / tetua yg membantu persalinan secara konvensional ) agar jika terjadi sesuatu pada kandungannya bisa segera ditangani secara medis, untuk itu dia akan tetap menabung. Aku salut sekali padanya meski putus sekolah namun dia punya kesadaran yang baik tentang keselamatan ibu dan bayi dalam persalinan, dan tetap berusaha mandiri menghidupi dirinya dan anaknya. Aku berusaha menguatkannya dan memotivasinya agar tetap semangat untuk tujuan mulianya, sampai tiba – tiba dia bertanya balik tentang diriku
“ haha kita itu hampir sama kok Di hanya tidak serupa “ jawabku
“ ih sama tidak serupa gimana atuh Teh?” tanyanya sambil tertawa kecil
"ya gitu deh Di ntar aja kalo penting banget gue ceritain " jawabku sok misterius hahaha
"dih gitu, berarti kita kudu nongski lagi ntar yaa" ujarnya sambil menunjukku dan akupun mengangguk menyetujui hal tersebut. Bersamaan dengan itu muncullah sebuah bus ppd tua bernomor 41 yang baru saja putar balik untuk kembali menuju cawang
"eh 41 tuh teh, mau g? Mumpung lewat" seru Didi "Bang tunggu bang " serunya lagi pada seorang kondektur bis
"okelah, lo naik g? Bareng sekalian ke cawang" ujarku sebelum beranjak
"ntar aje deh, mau nitipin barang dulu ke uwak,biar aman ini buat si dedek" jawabnya sambil menepuk tas plastik besar yang tadi kubawakan, akupun tersenyum
"okelah, lo cek aja lagi y, kalo masih Ada yg kurang and gue Ada, bilang aja. besok gue masuk sore kita bisa ketemu dulu sebelum gue kerja okeh " pesanku pada remaja tersebut, setelah mendapat respon dengan anggukan kepalanya aku beranjak dari tempat dudukku menuju bis 41 yang sudah menunggu
"gue balik ya, jangan lupa kasih makan dedek lo juga y " entah kenapa aku masih saja sempat mencereweti Didi
"iye mak, dasar emak emak bawel " candanya sambil tertawa lalu akupun menaiki bis yang kemudian berangkat membawaku ke stasiun cawang sebelum kemudian Ke Depok dengan commuter line.
Dari kaca jendela bis aku masih sempat melihat Didi mengikat tas plastik berisi beberapa perlengkapan untuk new born baby dengan senyum menghias di wajah manisnya. Lalu menentengnya dan berjalan menyebrangi lampu merah menuju bis 62 arah manggarai, dia sempat cerita bahwa kadang dia diperbolehkan untuk beristirahat Di tempat salah satu saudaranya yang biasa dia panggil uwak.
Aku memang tidak Tahu apa yang ada di fikiran gadis itu saat ini, apakah sama seperti yang kurasakan beberapa tahun lalu saat menjelang kelahiran Hikaru yang harus kujalani sendirian.
|
pic; Pixabay |
Berbagi lungsuran Hikaru continue
Di lain kesempatan aku bertemu Didi di perempatan pancoran lagi, kali itu ia bersama seorang pemuda Didi mengenalkannya sebagai Angga. Untuk ukuran pengamen Jakarta pemuda itu cukup sopan dan rapih tanpa tato dan tindik ditubuhnya bahkan ditelinganya, ia membawa gitar untuk mengiringi 'shownya' di bis ibukota
"cowo lo Di?" tanyaku pada Didi setelah pemuda itu menjauh dari kami
" temen teh" jawabnya namun dengan sedikit senyum di bibir nya, memancing jiwa isengku untuk lebih lanjut bertanya.
"ya gak apa apa juga kali kalo pacar" ujarku sambil mengerling usil padanya
" ih apaan sih teteh ya ampun, Angga itu temen udah lama kenal sebenarnya waktu Didi masih sekolah, nah baru ketemu lagi, baru tau kemarenan ternyata dia suka ngamen juga" terang Didi
"oooooh" aku ber-ooh panjang lalu melihat pada sosok lelaki yang sedang duduk santai tidak jauh dari kami sambil sesekali memperbaiki setting senar gitar nya.
"kayaknya dia baik, lumayanlah, manis lagi Di " ujarku lalu mengalihkan pandangan pada Didi yang justru tertawa "dih kenapa gue diketawain deh? Udah punya bini die ?" tanyaku
"haha kagak teh, lagian teteh bilang si Angga manis. Gula kali manis mah. Dia masih single umur baru 20 tahun, cuma muka boros kata gue mah jadi kliatannya udah tua gitu " kata Didi
"teteh suka? Sok atuh mau dicomblangin?" ibu hamil itu berbalik mencoba menggodaku
"set dah (kependekan dari buset dah) masa gue dikasih brondong, ntar gue jadi tante tante dong cyinn" candaku lalu kami tertawa (fix ini tidak bermaksud menyinggung siapapun)
"trus trus sekarang lo ngamen sama Angga gitu? " tanyaku
"kalo dia bisa aja sih teh, jadi kemarin tuh di bis 57 ada bapak bapak kurang ajar ke gue teh pas ngamen gak sama sri (temen ngamene Didi yg lain), biasanya kan sering sama sri sejak hamil makin gede, nanti sri yang ambilin duitnya, nah pas sri sakit kemarin gue ngamen sendiri, pas lagi ambilin duit tau tau ada bapak bapak genit megang tangan gue teh, kan kaget jd refleks langsung gue tarik eh kantong duit jatoh jadi agak heboh kan. Gue tegor tuh bapak eh dia malah ngatain gue dibilangnya gue jablay dipegang gitu aja sewot lebay padahal sampe hamil, mana g ada yang belain gue teh, gue langsung turun aja sembarang meski bukan dtempat pengamen" (biasanya beberapa pengamen akan memilih turun ditempat mangkal pengamen juga hal itu agar lebih aman ketika ada satpol pp mengadakan razia) Didi bercerita sambil memerah wajahnya. Aku tau perempuan ini sedang menahan marah dia bercerita padaku dengan berusaha tetap sopan tanpa memaki atau mencela, itulah dia meski pendidikan tidak tinggi dan hidup dijalanan namun ia masih berusaha untuk bersikap baik dan sopan.
Aku terkejut mendengar ceritanya meski begitu aku hanya menghela nafas lalu mencoba menepuk bahunya pelan, salah satu tantangan bagi sexual abuse survivor (sebutanku bagi korban pelecehan seksual yang memilih bertahan hidup) adalah menghadapi respon sosial dan masyarakat atas dirinya, adakalanya masyarakat tidak mencari tahu tentang history dan kronologi sebelum menjustifikasi seorang perempuan yang mengalami kekerasan seksual bahkan lembaga hukum negara ini sekalipun adakalanya. respon buruk sosial lah yang menurutku menjadi salah satu penyebab akhirnya perempuan korban kekerasan seksual memutuskan untuk mengakhiri hidupnya entah dengan bunuh diri, meninggal karena aborsi ilegal, atau membunuh dan membuang bayinya saat ternyata janin itu tumbuh dan lahir, beberapa mengalami depresi dan trauma berat.
Ok well get back to Didi's story
"astaghfirullahaladzim, bangke banget tu bapak bapak (I know bangke itu bukan bahasa halus tapi aku harap itu cukuplah untuk mewakili semua umpatan kemarahan aku dan Didi) trus hubungannya sama Angga apa? " tanyaku kembali
"ya kan gue turun sembarang teh g liat itu pas tempat kumpul pengamen apa bukan, nah pas turun ketemu Angga. Gak langsung sih jadi abis turun gue nangis dulu kan di pinggir jalan tenyata itu sebelom belokan yang mau ke Uki teh. Nah pas itu ada bis lewat g lama setelah bis gue si Angga turun abis ngamen juga, ternyata dia malah suka turun Sembarang kalo abis ngamen. Dia liat gue trus manggil haha ternyata dia masih inget gue teh temen dia dulu. Jd waktu nyokapnya masih hidup sempet tinggal deketan kita dulu waktu gue masih sama nyokap teh" jelas Didi
"oo seperti itu " ujarku
"iya trus kita ngobrol ngobrol deh trus dia nanya kenapa gue nangis dan ya nanya perut gue teh " lanjutnya
"oh ya? Trus lo jawab gimana? Trus tu cowo gimana responnya? " tanyaku
"ya gitu sama aja kayak waktu teteh nanya dulu gue jawab. Tapi g sebanyak yang Didi ceritain ke teteh. Udah Lama banget kan g ketemu Angga, gue belom tau gimana dia sekarang ntar kalo cerita ke orang yang salah bisa jadi masalah malah" jawabnya
Ku acungkan jempol kananku padanya sambil tersenyum, perempuan ini mendengarkan saranku di awal bertemu ternyata untuk lebih berhati hati dalam mempercayai orang.
"trus Angga bilang ngamen sama dia aja sementara biar aman, jadi gue tinggal nyanyi aja angga yang gitar sama ambilin duit, trus dia bisa bantuin kalo kenapa napa pas ngamen, y jadi udah 3 hari ini sih bareng dia. Tapi ngamennya cuma sampe jam 8 malem teh soalnya Angga jaga konter shift malem yang buka sampe pagi di daerah halim. Dia ngontrak disono sekarang, bokap nyokapnya udah meninggal deket situ tapi ada uwaknya sodara dari nyokapnya" jelas Didi
"hasilnya gimana? Inget lo harus nabung kan buat lahiran di bidan " ujarku mengingatkan.
"bagi dua sih tapi kemarin kemarin dia lebihin buat gue mulu teh. Dia bilang malem gue pulang aja istirahat kan perut tambah gede. Lumayan sih ngamen sama dia juga dapetnya dia pinter kan Main gitarnya trus dia suka nyanyi bahasa inggris teh jadi kadang ada orang yang ngasih agak banyakan apalagi mbak mbak " Didi terlihat senang menceritakan tentang lelaki yang saat itu sedang memetik gitar melantunkan 'aku pasti kembali yang sempat direcycle Pasto'
Permainan gitar akustik nya memang cukup baik dan suaranya meski tidak semerdu personil pasto namun cukup enak didengar, bisa lah bikin penumpang bis memasukkan uang ke kantungnya.
"keliatannya dia ok sih Di, tapi y diliat aja dulu setulus apa dia ke elo sebulan ini. Jangan langsung percaya dulu, apalagi kalo tau tau dia nembak elo" ujarku
"ya g mungkin atuh teh, ya masa cowo g mikir mau sama perempuan hamil g jelas kayak gue gini " sergah Didi
" hey jaman sekarang we never know hati manusia apalagi hati dan otak lelaki, ada juga orang yang kita kenal anggap baik kita percaya ternyata malah dia yang paling nyakitin kita" kumat jiwa nyinyir dan judesku terhadap kaum pria
" jailah yang curhat " ledek Didi tiba tiba
" eh iya yak hahaha" jawabku
" iya teteh Ranie, Didi inget pesen teteh. Makanya Didi juga g berani ngarep ngarepin lebih dari cowo sekarang mah" ujar Didi
" sementara buat keamanan g apa apa ngamen sama dia selama masih bener pembagian hasilnya trus dia g macem macemin elo itu penting banget tuh Di, malem lo istirahat aja udah makin gede perut juga kesian si dede kalo di jalan melulu seharian tetep kudu istirahat jangan sampe niat buat lahiran dibidan selamat Malah jadi lupa ngejaga bayi trus makan minum.... Black black bla" entahlah jiwa sok tahuku kumat sepertinya sehingga tanpa sadar aku menceramahinya panjang lebar seperti ibu ke anak perempuannya saja. Entahlah aku hanya merasa prihatin dengan kondisi perempuan yang kutemui ini.
" iya emakku sayang " respon Didi sambil tiba tiba memelukku, sesaat aku merasa terkejut dengan kelakuannya namun sejurus kemudian aku biarkan dia melakukannya dan kubalas pelukannya
"pokoknya lo baik baik y Di, gak usah dengerin orang yang mencela lo mereka g tau gimana cerita sebenarnya dan mungkin g mau tau tapi percaya deh lo udah jadi perempuan hebat dengan tetap berusaha bertahan di jalan yang baik, lo g sendirian" ujarku setelah dia melepas pelukannya
Entahlah kadang dan bahkan aku merasa itu seperti adegan sinetron saja meski sebenarnya aku bukan penggemar sinetron, aku hanya merasa seperti mengulang perlakuan yang aku Terima Dari sahabat sahabat baikku ketika menjalani masa kehamilan secara independent (istilahku mengganti Kata sendiri)
" iya teh makasih udah baik ke Didi, doain Didi ya teh bisa kuat dan selamet" jawabnya
Aku mengangguk pengen nangis rasanya tapi kan aku lebih tua aduhh tengsin juga kan mana di tempat umum hehhe
Lalu kuserahkan lagi tas plastik berisi beberapa keperluan bayi, lungsuran Hikaru sebenarnya dan beberapa barang (jangan disebut lah ntar dibilang riya sebel gue hahai)
Kupanggil Angga dan kusalami lelaki itu
" gue emang baru ketemu elo Angga, tapi gue harap lo adalah cowo yang bisa dipercaya. tolong jaga Didi baik baik y minimal jadilah sahabatnya yang baik dan tulus " kataku dengan sungguh sungguh
Ada rona terkejut diwajah Angga namun kemudian dia mengangguk dan menjawab
" percaya saya teh insya Allah saya g ada niat buruk "
Lalu kami berpamitan sementara Didi hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya ketika aku melangkah menjauhi mereka menuju stasiun cawang. Aku berharap Allah akan melindungi mereka sama seperti ketika Allah menyelamatkan aku.
Bersambung...