Sunday, April 16, 2017

RP - Otosan for H-kun

pic; Pixabay




“anaknya cewe atau cowo Ran?”
“cowo I called him H-kun”
“wah syukurlah cowo ya, gampanglah ntar y kalo udah besar”
“gampang apanya?”
“nikah g perlu cariin walinya, cukup yang ada hubungan keluarga aja”

Dan aku selalu hanya bisa tersenyum tipis menanggapi beragam komentar tentang ‘enaknya punya anak cowo’ versi orang – orang di sekelilingku bahkan sejak ia lahir di tahun Naga air lalu, aku sadar bahwa orang – orang disekelilingku berniat baik dengan berkata begitu, karena mereka bermaksud meyakinkanku bahwa apa yang Tuhan sudah beri ini adalah suatu ‘right gift’ untukku.
Well, aku menjadi ibu memang melalui proses yang tidak ‘umum’ tapi ini bukan waktunya flashback dan bermelow mellow lagi karena bagiku masa itu sudah lewat, sekarang setelah hampir 5 tahun melewati waktu sebagai ibu tunggal (secara teknis) untuk seorang anak laki-laki yang unik, aku mulai mengkaji lagi bahwa anggapan ‘mudahnya menjadi single mama untuk anak laki-laki’ itu tidak sepenuhnya bisa dipercaya.
Bagiku yang hanya wanita biasa ini dan tidak pernah berencana untuk cepat menjadi ibu (ya meski konon usia 25tahun adalah usia ideal wanita dewasa memiliki anak hahaha), menjadi bagian dari trend ‘single pretty mama with a son’ (super sorry if u disagree with statement that I’m a kind of pretty mama .LOL) sesungguhnya bukan kebanggaan untukku, oia kenapa aku sebut ‘trend’ karena memang era tahun 20+belasan entah kenapa tingginya angka perpisahan pasangan (I don’t say perceraian, perpisahan adalah teknis pilihan karena beragam alasan yang tidak selalu perceraian) terutama di kalangan public figure yang kemudian diumbar media bahkan pasca perpisahan tersebut menyorot bagaimana kehidupan sang wanita dengan anaknya yang konon disebut menjadi lebih cantik dan look happy setelah berpisah, ok kita tidak akan ngelantur kejauhan tentang hal tersebut.
In fact, menjadi ibu tunggal dalam mengasuh seorang anak yang berbeda gender tidaklah mudah, dan aku pikir hal itu bisa jadi berlaku pula untuk seorang ayah tunggal bagi anak gadisnya. Yang aku rasakan sedekat apapun ibu dan anak lelakinya Akan ada keterbatasan – keterbatasan dalam perjalanan pengasuhannya, dan menurutku itu manusiawi dan normal, itulah kenapa Tuhan membentuk ‘orang tua’ dari dua orang dengan gender yang berbeda yaitu pria dan wanita dewasa karena memang masing – masing memiliki peran yang tidak semuanya dapat digantikan oleh yang lainnya, bahkan jika anda seorang wanita yang tomboy atau boyish sekalipun.

Kehadiran (dalam arti sesungguhnya baik fisik mau pun peran dan pengasuhan) Ayah memiliki keunggulan untuk anaknya

1.       Mengajarkan anak cara menyelesaikan masalah
Ayah bisa menunjukkan pada anak tetang banyak cara mengambil keputusan dan mengajarkannya menghadapi konsekuensi dari tindakan dan keputusannya. Jika anak terbiasa mengambil keputusan dengan tepat, maka ia tidak akan menjadi anak yang agresif. Ibu yang dianggap tough mungkin bisa juga melakukan hal itu pada anak lelakinya tapi ternyata ayah yang merupakan ‘kepala keluarga’ memiliki cara yang berbeda dan dipandang dengan berbeda pula olah seorang anak lelaki.
2.       Menjadi teman bermain
Umumnya ayah adalah sosok yang jagonya berkegiatan fisik yang menguras energy, seperti bermain sepeda, sepakbola, atau lari. Kalaupun ada yang menganggap ibu juga bisa melakukan hal tersebut, saya pribadi tidak menyalahkan namun juga tidak membenarkan 100%, tidak semua ibu mengerti secara teknis dan imajinasi pria dalam hal sepakbola atau olahraga fisik lainnya, aku pribadi meski juga banyak menyukai kegiatan fisik namun entah kenapa seringkali untuk terjun langsung sebagai tim anak lelakiku merasa seperti ada batasan atau tidak seseru ketika ia dengan coach prianya saat ikut latihan kegiatan fisik atau kakek dan paman-pamannya saat nobar tontonan pria (sepakbola, balapan,etc) , jika anda ingin menuduhku bahwa itu hanya perasaanku saja silakan, tapi perlu anda ketahui bahwa aku (yang dalam CV professionalku mencantumkan ‘ I am an adaptable person’) sebagai ibu sudah berusaha nge-blend dengan apa yang difikirkan, diimajinasikan, dilakukan, bahkan diopinikan anakku dan di tahun kelima ini aku sadar (tanpa ada rasa rendah diri) bahwa kegiatan anak lelakiku yang super aktif itu akan lebih seru jika dengan yang se-gender dengannya.  Konon, permainan fisik tidak hanya akan melatih otot dan koordinasi tapi bisa digunakan untuk mengajarkan aturan, seperti bekerja dalam tim.
3.       Menghargai gender
Anak laki – laki yang diasuh dengan keterlibatan ayah akan lebih kenal dunia pria, tentu saja dunia pria dan wanita berbeda bukan, seorang anak lelaki yang mengalami fase pertumbuhan secara reproduksi tentu akan lebih nyaman untuk berdiskusi atau bertanya pada ayahnya ketimbang ibunya yang seorang wanita dewasa, penerimaan pun tentu akan berbeda antara ayah dan ibu. Dan, anak perempuan akan memiliki hubungan yang sehat dengan teman prianya kelak. Karena ia belajar dari ayahnya bagaimana laki-laki seharusnya bersikap.
4.       Menyiapkan masa depan anak
Dalam jurnal of child psychology & psychiatry Dr. Paul Ramchandani, psikiater anak di university of Oxford Inggris menyebutkan bayi yang memiliki bonding yang baik dengan ayahnya terbukti setelah bersekolah jarang memiliki problem dengan temannya dan mereka tumbuh menjadi pribadi yang bahagia.
5.       Anak memiliki self esteem yang baik
Anak akan lebih sedikit merasa depresi jika memiliki hubungan yang baik dan dekat dengan ayahnya terutama anak lelaki, ia akan merasa lebih percaya diri, kompetensi, dan keterampilan social yang tinggi bahkan konon juga IQ dan kapasitas bahasa dan kognitif lebih baik jika ada ayah yang sering terlibat dalam pengasuhannya.

And you know what? aku telah merasakan perbedaannya pada H-kun sebelum ia mengenal ayahnya dengan (finally,honestly) bertemu dengan his biological dad.
meskipun hanya sebatas bertemu dan bukan untuk terlibat langsung dalam hal pengasuhan namun ternyata hal tersebut memberikan dampak bagi kepercayaan diri H-kun, dia lebih yakin dan percaya bahwa dia pun sama seperti anak - anak lain yang juga memiliki ayah, walau dengan kondisi yang berbeda dan hal tersebut menjadi pe-er lanjutan bagi aku ibunya yang harus selalu siap menerima pertanyaan - pertanyaan kritis berikutnya dari H-kun.

Saat ini secara teknis masih menjalani kehidupan kami berdua saja, namun tidak mengurangi optimisme kami untuk mencoba survive dan percaya pada Tuhan bahwa one day Tuhan akan beri hidup yang lebih baik dan akan selalu meikhlaskan diri kami. 
ini bukan berarti termasuk usaha aku untuk mencari papa baru untuk H-kun hanya saja semoga ini dapat menjadi pertimbangan bagi para ladies yang mungkin ada fikiran untuk menjadi single mama dengan beragam alasan. I hope God will always bless us wherever we are. 

Regards,

RP 

No comments:

Post a Comment

Reuni 2 Dekade Alumni Pondok Modern Gontor Putri 2004 di Solo, Jawa Tengah

Pesantren Putri Pondok Modern Darussalam Gontor yang diresmikan sejak 1990, telah meluluskan banyak santriwati yang berkiprah di masyarakat....